Sunday, February 4, 2024

Eyang Santri, Pendukung Diponegoro di Kaki Gunung Salak

Hampir 66 tahun, sosok Pangeran Djojokusumo menghilang dari peredaran setelah Perang Jawa selesai pada 1830. Pendukung dan penyokong dana Pangeran Diponegoro itu bersembunyi di kaki Gunung Salak menjadi seorang kiai, Eyang Santri Girijaya.


Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan salah satu jalur pendakian menuju Puncak 1 Gunung Salak, yang mempunyai ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut (mdpl). Udara sejuk menambah keasrian pemandangan perkebunan, persawahan, dan permukiman penduduk. Dari kejauhan terlihat rapatnya pepohonan hutan tropis di lereng gunung.

Para pendaki gunung atau wisatawan yang menempuh jalur tersebut akan melewati sebuah kompleks pemakaman bernama Astana Girijaya. Di kompleks pemakaman itu terbaring sosok kiai bernama Muhammad Santri. Masyarakat sekitar mengenal sang kiai dengan sebutan Eyang Santri Girijaya. Ironisnya, tak semuanya tahu mengenai sosok Eyang Santri.

Bangunan Astana Girijaya tertata cukup rapi dengan benteng tembok bercat putih dan berpintu kayu jati. Cungkupnya mirip dengan bangunan khas pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, walau ini versi mininya. Tak jauh dari astana itu terdapat plang warna hijau bertulisan ‘Astana Girijaya K.P.H Djojokoesoemo (Kyai Muhammad Santri). Mangkunagaran Surakarta Hadiningrat'.

Dari penelusuran detikX, tokoh Eyang Santri atau Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Djojokusumo merupakan salah satu pendukung Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, yang berkobar pada 1825-1830. Ia disebutkan melarikan diri dari Keraton Mangkunegaran Surakarta karena diburu pasukan Belanda dan antek-anteknya, yang tak lain kerabat Keraton sendiri, ke wilayah Jawa Barat, persisnya ke Cidahu.

“Jejaknya menghilang dari peredaran selama 66 tahun,” kata Raden Ayu Ahdiyati Samita, salah satu cucu Eyang Santri Girijaya (KPH Djojokusumo), yang ditemui detikX di rumahnya yang berada di samping Kompleks Astana Girijaya, Selasa, 21 Juni 2022.

Demi negeri ini, beliau menanggalkan gelar bangsawannya. Dia tinggalkan istananya yang megah demi negeri ini."

Menurut perempuan berusia 71 tahun yang akrab disapa Bu Hajah Tito itu, kakeknya lahir pada 1771 di Keraton Mangkunegaran dan wafat pada 1929 di Girijaya pada usia 158 tahun. Ia merupakan putra pasangan KPH Prabuwijoyo I dan Tri Kusumo, putri Cakraningrat dari Madura. Djojokusumo masih terhitung cucu Pangeran Samber Nyowo (Raden Mas Said), pendiri trah Dinasti Mangkunegaran.

Ia juga memiliki darah keturunan Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo, Panembahan Senopati (Danang Sutawijoyo), Ki Ageng Selo, hingga ke Bondan Kejawen dan Raja Majapahit Brawijaya V. Eyang Santri juga memiliki darah keturunan dari Wali Songo dan Raden Patah Demak, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Syekh Maulana Maghribi. “Jadi dari garis ibu, Eyang Santri ada keturunan Wali Songo,” tutur Hajah Tito.

Hajah Tito menuturkan, kakeknya terlibat dalam Perang Jawa sebagai pendukung Diponegoro bersama Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono VI. Djojokusumo memiliki kekerabatan yang erat dengan Diponegoro karena merupakan paman dan keponakan. Dalam Perang Jawa, Diponegoro didanai Pakubuwono VI, yang uangnya dicarikan oleh Djojokusumo.

“Jadi penyandang dana Perang Diponegoro adalah Pakubuwono VI dan yang mencarikan dananya, ya, Pangeran Djojokusumo. Waktu itu belum pakai nama Eyang Santri. Itu buat biaya Perang Jawa selama lima tahun dari 1825 sampai 1830,” jelas Hajah Tito.

Dalam buku Kuasa Ramalan jilid 2 karya Peter Carey (2012), Diponegoro kerap melakukan pertemuan rahasia dengan beberapa sekutu bekas Raja Yogyakarta kedua, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II, yang juga kakek Diponegoro sendiri. Salah satunya adalah dengan Djojokusumo, yang dikenal sebagai pendukung Hamengku Buwono II paling gigih ketika melawan serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta atau yang dikenal sebagai peristiwa Geger Sepehi (Sepoy) pada Juni 1812.
Diponegoro bertemu dengan Djojokusumo dan adiknya untuk berkoordinasi rencana penggalangan dukungan dari berbagai desa di tanah-jabatan mereka apabila perlawanan terhadap Belanda dimulai. “Pangeran Djojokusumo satu di antara pendukung tergigih bekas Raja Yogya itu pada saat serangan Inggris, Juni 1812, dan segera menjadi panglima tentara Diponegoro yang tepercaya,” tulis Peter Carey.
Ketika perang berakhir atau Diponegoro ditangkap Belanda, Pakubuwono VI juga ditangkap dan dibuang ke Ambon. Di kota pengasingan itulah Pakubuwono VI dieksekusi tembak mati. Sementara itu, Djojokusumo, yang juga dicurigai Belanda, keluar meninggalkan lingkungan Keraton Mangkunegaran.
“Demi negeri ini, beliau menanggalkan gelar bangsawannya. Dia tinggalkan istananya yang megah demi negeri ini. Betapa tidak enaknya Eyang Santri ketika hidup di luar Istana,” tutur Hajah Tito lagi.
Untuk menghindari kejaran pasukan Belanda dan antek-anteknya, Djojokusumo pergi mengembara ke arah barat Pulau Jawa selama 66 tahun. Ia sempat pergi ke Kebumen, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Karawang, sampai Banten. Ia selalu menutupi identitasnya dengan menggunakan nama samaran. Ketika di Kuningan ia menyandang nama Zakaria, dan di Cibatok, Bogor, menyandang nama Hasan.
Djojokusumo juga sempat tinggal di kawasan Pasir Jawa, Cigombong, Bogor, Jawa Barat. Di tempat itulah ia menikah dengan seorang gadis setempat bernama Iyok, tapi tak memiliki keturunan. Ia mengangkat anak bernama Raden Jayasumantri. Setelah itu, menikah lagi dengan Ratu Sarifah, salah seorang putri keturunan Pangeran Sogiri bin Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, yang tinggal di Cimaphar, Bogor.
Dari pernikahan kedua, Djojokusumo mendapatkan seorang putra bernama Raden Mas Suparman Jayakusuma, tak lain ayah kandung Bu Haji Titto (RA Ahdiyati Samita). “Nah, pas tinggal di Girijaya, Cidahu, Sukabumi tahun 1896, Djojokusumo menggunakan nama Kiai Muhammad Santri, Kiai Santri, atau Eyang Santri. Saat itu sudah menjadi guru Pakubuwono X. Disangka Belanda mah, Djojokusumo sudah meninggal dunia,” jelas Hajah Tito lagi.
Hajah Tito menunjukkan sejumlah dokumen autentik tentang keberadaan sosok kakeknya itu. Di antaranya sebuah buku tulisan tangan Eyang Santri berisi pesan-pesan untuk kalangan Keraton Mangkunegaran beraksara Jawa. Peninggalan milik Eyang Santri berupa kitab Tarekat Syattariyah karya Abdullah Asy-Syatar bertuliskan Jawa pegon.
Tarekat Syattariyah ini berkembang di Nusantara sejak abad ke-15 melalui para bangsawan di Cirebon ke keraton-keraton lainnya. Mereka yang menganut tarekat ini mayoritas memilih meninggalkan keraton. Mereka memilih menjadi kiai, ulama, atau membangun pondok pesantren. Mereka ini sangat benci terhadap penjajah Belanda, seperti halnya Diponegoro dan Djojokusumo. 
Bahkan Eyang Santri dianggap sebagai salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah sesuai penelitian yang dilakukan oleh Dr KH Ali M Abdillah, pengasuh Pondok Pesantren Al Rabbani Islamic Collage, Cikeas, Bogor. Saat itu Kiai Ali tengah merampungkan disertasi doktoralnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat.
Ia mengkaji ajaran sufisme yang dikembangkan Eyang Santri. Hasilnya dibukukan dengan judul Sufisme Jawa, Ajaran Martabat Tujuh Sufi Agung Mangkunegaran Kyai Muhammad Santri (2021). Dalam bukunya, disebutkan bahwa Eyang Santri merupakan tokoh tersembunyi yang memiliki peran penting dalam penyebaran ilmu tasawuf falsafi, sebagai tokoh perlawanan kolonialisme, dan tokoh penggerak kemerdekaan (nasionalisme).
Bukti autentik tentang Eyang Santri menjadi guru para pembesar Jawa dan orang Belanda pun tercantum di dalam buku Geschiedenis der Onndernemingen van Het Mangkoenagorosche Rijk yang ditulis Martinus Nijhoff pada 1950. Juga dalam buku Kenang-kenangan Dokter Soetoemo yang ditulis Paul W van der Veur pada 1921 dan diterbitkan pada 1984.
Sayangnya, selama ini orang tak banyak mengetahui sejarah Eyang Santri yang sebenarnya. “Jangankan tingkat nasional, di tingkat RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) saja nggak ada yang tahu siapa Kiai Santri. Ini terlalu ironis sekali, karena mereka nggak ngerti sejarah,” pungkas Hajah Tito.
Dikutip dari News.Detik.Com

AIR BAROKAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW: MASUKLAH 1000 RAHMAT & KELUAR 1000 DENGKI

*๐Ÿ“šKitab An Nikmatul Kubro*

*✅Imam Fakhruddin Ar-Razi berkata:*

: ู…ุง ู…ู† ุดุฎุต ู‚ุฑุฃ ู…ูˆู„ุฏ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนู„ู‰ ู…ู„ุญ ุฃูˆ ุจุฑ ุฃูˆ ุดูŠุฆ ุฃุฎุฑ ู…ู† ุงู„ู…ุฃูƒูˆู„ุงุช ุงู„ุง ุธู‡ุฑุช ููŠู‡ ุงู„ุจุฑูƒุฉ ูˆ ูู‰ ูƒู„ ุดูŠุฆ ูˆุตู„ ุงู„ูŠู‡ ู…ู† ุฐู„ูƒ ุงู„ู…ุฃูƒูˆู„ ูุงู†ู‡ ูŠุถุทุฑุจ ูˆ ู„ุง ูŠุณุชู‚ุฑ ุญุชู‰ ูŠุบูุฑ ุงู„ู„ู‡ ู„ุฃูƒู„ู‡ ูˆุงู† ู‚ุฑุฆ ู…ูˆู„ุฏ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนู„ู‰ ู…ุงุก ูู…ู† ุดุฑุจ ู…ู† ุฐู„ูƒ ุงู„ู…ุงุก ุฏุฎู„ ู‚ู„ุจู‡ ุฃู„ู ู†ูˆุฑ ูˆ ุฑุญู…ุฉ ูˆ ุฎุฑุฌ ู…ู†ู‡ ุฃู„ู ุบู„ ูˆ ุนู„ุฉ ูˆ ู„ุง ูŠู…ูˆุช ุฐู„ูƒ ุงู„ู‚ู„ุจ ูŠูˆู… ุชู…ูˆุช ุงู„ู‚ู„ูˆุจ . ูˆ ู…ู† ู‚ุฑุฃ ู…ูˆู„ุฏ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนู„ู‰ ุฏุฑุงู‡ู… ู…ุณูƒูˆูƒุฉ ูุถุฉ ูƒุงู†ุช ุฃูˆ ุฐู‡ุจุง ูˆ ุฎู„ุท ุชู„ูƒ ุงู„ุฏุฑุงู‡ู… ุจุบูŠุฑู‡ุง ูˆ ู‚ุนุช ููŠู‡ุง ุงู„ุจุฑูƒุฉ ูˆ ู„ุง ูŠูุชู‚ุฑ ุตุงุญุจู‡ุง ูˆ ู„ุง ุชูุฑุบ ูŠุฏู‡ ุจุจุฑูƒุฉ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆ ุณู„ู…



*Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi Muhammad Saw ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan tampak keberkahan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga ALLAH akan mengampuni orang yang memakannya*

*Dan sekiranya dibacakan maulid Nabi Muhammad Saw ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki dan penyakit dan tidak akan mati hati tersebut pada hari dimatikannya hati-hati itu.*

*Barangsiapa yang membaca maulid Nabi Muhammad Saw pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut keberkahan dan pemiliknya tidak akan fakir serta tidak akan kosong tangannya dengan keberkahan Nabi Muhammad Saw*


*Semoga bermanfaat,, ๐Ÿ™*

Saturday, February 3, 2024

Pengurus Ranting NU se kecamatan Cileunyi dilantik


Bertempat di Ponpes Bustanul Wildan Cileunyi, telah dilantik Para Pengurus Ranting NU se Kecamatan Cileunyi untuk masa khidmat 2023-2028, kegiatan yang merupakan tindak lanjut dari Muskerran tahun lalu ini baru diadakan pelantikan, hal tersebut karena ada masa percobaan selama 6 bulan pasca pemilihan calon pengurus. 


Ranting NU se kecamatan Cileunyi terdiri dari 6 Desa dan semuanya telah terisi, diantara yang dilantik ialah Pengurus Ranting Desa Cileunyi Kulon, saat itu Syaikh Mohamad Arif terpilih sebagai Syuriah dan Ustadz Kokon sebagai ketua tanfidziyah, serta pa H. Dr. Abdurrochim sebagai bendahara.


Acara yang juga digabung dengan pengajian bulanan PC RMI NU Kab Bandung dengan pemateri Al mukarom KH. Sofiyan Yahya ini berjalan dengan lancar Hidmat dan penuh kegembiraan, tampak hadir pula Muspika Cileunyi pak Camat, Kapolsek Kompol Suharto dan beberapa pejabat lainnya,juga dihadiri oleh Bawaslu dikarenakan acara tersebut diselenggarakan disaat musim kampanye.